Kesalahpahaman Linguistik dan Theologis
Dr. Steven E. Liauw
Graphe International Theological Seminary
Belakangan ini di dunia kekristenan Indonesia banyak sekali terjadi perdebatan mengenai penggunaan istilah “Allah.” Perdebatan ini timbul karena ada pihak atau kelompok yang “mengharamkan” orang Kristen memakai kata “Allah.” Mereka beranggapan bahwa jika orang Kristen memakai kata “Allah,” maka itu sama saja dengan menyembah Tuhannya orang Islam. Hampir selalu bersamaan dengan itu, kelompok yang sama juga mengedepankan nama “Yahweh,” dan menganjurkan orang Kristen mengganti “Allah” dengan “Yahweh” atau “Elohim.” Kita sebut saja kelompok ini sebagai kelompok “anti-Allah.”
Banyak sekali orang Kristen yang menjadi bertanya-tanya mengenai masalah ini. Apalagi hampir semua orang Kristen di Indonesia sudah biasa dengan istilah “Allah,” dan sama sekali tidak memaksudkan Tuhannya Islam. Tentunya orang Kristen awam akan merasa risih ketika kelompok “anti-Allah” mengklaim bahwa mereka selama ini menyembah Tuhan Muslim atau dewa bulan, mengagungkan berhala, dan menghujat Tuhan yang benar. Walaupun seorang Kristen selama ini sangat mengasihi Yesus, mengagung-agungkan nama Yesus, dan bahkan sudah kenal dengan nama Yehovah, namun jika masih memakai kata “Allah,” maka ia dicap sebagai penyembah berhala atau bahkan seorang Muslim! Ini semua adalah tuduhan yang sangat serius. Banyak orang Kristen yang lugu dan awam ketakutan dituduh seperti itu, dan buru-buru menggabungkan diri dengan kelompok “anti-Allah” ini. Bahkan ada acara pelepasan dari “roh Allah” yang dianggap sebagai roh setan oleh kelompok ini.
Apakah benar tuduhan kelompok “anti-Allah” ini? Apakah karena seorang Kristen memakai istilah “Allah” untuk mengacu kepada sang Pencipta, atau menyebut Yesus sebagai Allah, maka dia menjadi seorang Muslim, atau seorang penyembah berhala? Tulisan ini akan memperlihatkan bahwa posisi kelompok “anti-Allah” ini sama sekali tidak berdasar. Mereka mendirikan seluruh argumen mereka atas dasar emosi, dan mereka melakukan kekeliruan nalar linguistik dan theologis yang sangat fatal. Artikel ini akan berfokus pada mengupas kesalahan linguistik dan kesalahan theologis yang mereka lakukan.
I. Kesalahan Linguistik Kelompok “Anti-Allah”
Semangat kelompok “anti-Allah” untuk mendapatkan pendukung-pendukung baru menyebabkan mereka sering mengkhotbahkan sikap “anti-Allah” tersebut kepada orang Kristen atau gereja manapun yang kebetulan mendengarkan mereka. Graphe International Theological Seminary, sebagai suatu institusi pembelajaran theologi tingkat tinggi, tidak terlepas menjadi sasaran “penginjilan” mereka. Beberapa individu yang “anti-Allah” cukup sering berkomunikasi dengan GITS, sehingga kami cukup familiar dengan berbagai argumen “anti-Allah.”
Topik ini juga sudah mendapat perhatian dari GITS, mengingat bahwa pernah diadakan debat antara Bpk. John Gersom dengan penulis sendiri, pernah diselenggarakannya seminar mengenai “nama Allah” di GITS, dan pembahasan mengenai nama sang Pencipta di Pedang Roh edisi ke-61. Walaupun pembahasan-pembahasan sebelumnya ini telah menjadi berkat bagi banyak orang, banyak individu dari kelompok “anti-Allah” yang tetap besikeras dengan posisi mereka.
Mereka sering mengulang-ulang argumen-argumen seperti “kalau kamu menyebut Allah, berarti kamu orang Islam,” “Allah tidak ada dalam Alkitab bahasa Ibrani ataupun Yunani,” “Allah itu nama pribadi,” “Allah itu artinya dewa bulan,” dan lainnya. Semua ini menunjukkan bahwa ada beberapa poin linguistik yang tidak mereka mengerti atau abaikan.
A. Bahwa Satu Kata Bisa Memiliki Arti Yang Berbeda Untuk Kelompok yang Berbeda
Tidak diperlukan seorang linguis untuk mengetahui bahwa suatu kata dapat memiliki arti yang berbeda ketika dipakai oleh kelompok yang berbeda. Ini adalah fenomena bahasa yang sering terjadi dan tidak dapat disangkali. Sebagai contoh adalah kata football. Jika orang Eropa menyebut kata football, maka yang dimaksudkannya adalah sepakbola. Sebaliknya, jika orang Amerika menyebut kata football, maka yang ia maksudkan adalah olahraga mirip rugby yang sama sekali berbeda dari sepakbola. Yang mana yang benar dan yang mana yang salah? Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Arti dari katafootball tergantung kepada siapa yang mengucapkannya dan konteks pembicaraan.
Masih banyak lagi contoh seperti ini. Kata soda, misalnya, memiliki pengertian yang berbeda-beda bagi berbagai orang. Untuk orang Amerika bagian tengah, soda berarti minuman ringan seperti Coca Cola atau Pepsi. Bagi banyak orang lain, soda berarti buih-buih atau gelembung-gelembung, sedangkan bagi orang kimia, soda berarti sodium oksida. Bill memiliki arti tagihan bagi orang Inggris, tetapi memiliki arti lembaran uang bagi orang Amerika (dua arti yang sama sekali bertentangan, karena yang satu berarti anda memiliki uang, dan yang satu lagi berarti harus kehilangan uang). Fanny adalah slang untuk organ kelamin wanita bagi orang-orang Inggris, tetapi berarti “pantat” bagi orang-orang Amerika. Tentunya ini bisa mengakibatkan momen-momen yang memalukan. Contoh-contoh seperti ini dapat diteruskan lagi berkali-kali lipat.
Fenomena ini tidak hanya terbatas pada bahasa Inggris, tetapi ada dalam setiap bahasa. Sedikit “searching” di Internet dapat menambah wawasan dalam hal ini. Satu website tentang bahasa Spanyol menjelaskan bahwa kata mona memiliki arti “gadis cantik” di Spanyol, “gadis sombong” di Venezuela, dan “gadis pirang” di Colombia. Bahasa Melayu sendiri menyediakan cukup banyak contoh. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, dan bahasa Malaysia juga adalah salah satu bentuk bahasa Melayu. Namun semua orang yang pernah ke Malaysia tahu bahwa ada banyak kata-kata yang dimiliki oleh kedua bahasa ini, namun memiliki pengertian yang berbeda. Perbedaan makna bisa kecil hingga besar. Kata “berbual” tidak memiliki konotasi negatif di Malaysia (artinya “berbicara” atau “ngobrol”) sedangkan di Indonesia memiliki konotasi negatif (menghambur-hamburkan kata-kata secara sia-sia). Kata “jimat” berarti hemat di Malaysia, tetapi mengandung arti suatu benda keramat di Indonesia. Ada banyak sekali contoh lain dan yang tertera dalam tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari suatu fenomena bahasa yang bersifat universal.
Sejumlah orang dari kelompok “anti-Allah” berargumen lebih lanjut bahwa semua yang tertulis di atas adalah benar, karena tidak berhubungan dengan suatu nama atau proper name. Namun, mereka mengklaim bahwa suatu “nama” (proper name) tidak dapat memiliki lebih dari satu arti. Bahkan ada seorang pemimpin “anti-Allah” yang mengirimkan email kepada saya dan berkata, “Allah itu NAMA, sedang NAMA tidak dapat dilinguistikkan…” Sekali lagi ini mencerminkan ignorance akan masalah linguistik. Nama adalah bagian dari bahasa, dan oleh karena itu, pemberian dan pemakaian nama juga termasuk ke dalam studi linguistik.
Apakah benar bahwa “nama” (proper noun) mendapat pengecualian terhadap prinsip-prinsip bahasa? Sama sekali tidak. Nama tetap adalah sebuah kata. Sebagai sebuah kata dalam suatu bahasa, ia tetap dapat memiliki berbagai arti. Ada dua jenis contoh yang dapat diperhatikan bersama. Pertama, banyak sekali kata-kata umum (non-proper), yang juga akhirnya menjadi nama (proper name). Kata “langit” misalnya, tentunya dikenal luas sebagai suatu kata benda generik. Namun tidak jarang orang yang menamakan anaknya “Langit.” Demikian juga ada saja orang yang bernama “Pelangi,” “Mutiara,” “Kilat,” “Guruh,” dan bahkan”Sutradara.” Jadi, apakah “sutradara” itu nama, ataukah sebuah kata generik? Jawabannya adalah bisa dua-duanya, tergantung konteks, tergantung audiens. Jika sedang berbicara dengan Sutradara Ginting, maka kata “sutradara” kemungkinan mengacu kepada namanya (proper name). Jika dalam konteks umum, mengacu kepada suatu jenis pekerjaan (common noun). Sekali lagi kita melihat prinsip linguistik ini berlaku: bahwa suatu kata dapat memiliki lebih dari satu makna, termasuk jika salah satu maknanya adalah nama dan makna lainnya adalah kata umum.
Ada lagi jenis contoh kedua yang patut diperhatikan. Tidak sedikit kata-kata yang pada awalnya adalah nama (proper noun), tetapi kemudian dipakai juga sebagai kata umum (common noun). Dalam studi linguistik, fenomena ini bahkan memiliki sebutannya sendiri, yaitu eponim. Karena seringnya masyarakat memakai kata-kata tertentu, mereka kadang-kadang menjadi tidak sadar lagi bahwa kata yang mereka pakai itu juga adalah nama orang atau nama tempat. Misalnya, pemakai mobil sering menyebut istilah “mesin diesel” secara generik, tanpa sadar bahwa Diesel juga adalah nama orang (Rudolf Diesel). Saya sebagai seorang dokter sering menginstruksikan agar pasien saya di-rontgen. Kata “rontgen” adalah contoh lain sebuah nama (Wilhelm Rontgen) yang kini dipakai luas sebagai kata umum. Saya sedang mengetik artikel ini di sebuah komputer dengan kecepatan prosesor 3.0 gigahertz, yang adalah contoh lain sebuah nama (Heinrich Rudolf Hertz) yang kini menjadi kata umum (satuan frekuensi). Jadi, sungguh aneh bahwa kelompok “anti-Allah” memboikot kata “Allah,” dan ngotot bahwa sebuah kata yang dipakai sebagai NAMA tidak dapat dipakai juga dengan pengertian lain yang umum, mungkin karena mereka lupa bahwa pemboikotan mereka awalnya adalah Charles Cunningham Boycott.
Jika seseorang mengerti akan prinsip ini, maka seharusnya ia tidak perlu heran jika kata “Allah” dapat dipakai dengan pengertian yang berbeda oleh kelompok yang berbeda. Kelompok “anti-Allah” menghabiskan banyak energi dan argumen untuk menekankan bahwa “Allah” adalah nama pribadi, yaitu nama Tuhan yang disembah oleh orang Islam. Mereka mengajukan banyak sekali pendapat ulama-ulama Muslim, tokoh-tokoh Arab, ataupun sumber-sumber lain yang menyatakan bahwa “Allah” adalah nama pribadi. Namun dalam semua usaha ini, mereka gagal melihat permasalahan utamanya. Orang-orang Kristen di Indonesia bukan tidak tahu bagaimana cara orang Islam memakai kata “Allah.” Orang Kristen Indonesia bukan tidak paham bahwa ada kelompok yang menyebut Allah sebagai nama pribadi. Namun, inti sari dari seluruh topik ini adalah: “Orang Kristen Indonesia memakai kata Allah bukan sebagai nama pribadi.”
Jadi, minimal ada dua cara pemakaian kata “Allah” di Indonesia. Orang Islam memakai kata Allah dengan arti nama pribadi sesembahan mereka. Orang Kristen memakai kata Allah dengan pengertian generik “sesembahan,” atau yang sepadan dengan kata “God” dalam bahasa Inggris atau “Elohim” dalam bahasa Ibrani. Sebaliknya, kelompok “anti-Allah” sengaja tidak mau mengerti bahwa ada dua jenis pemakaian seperti ini. Mereka ngotot bahwa hanya boleh ada satu pemakaian kata Allah, yaitu pemakaian sebagaimana orang Islam.
Tentunya posisi kelompok “anti-Allah” ini sama sekali tidak masuk akal secara linguistik. Mengapakah tidak boleh ada dua arti bagi “Allah”? Toh banyak sekali kata-kata lain yang memiliki dua makna, bahkan lebih, ketika dipakai oleh kelompok yang berbeda. Hanyalah seseorang yang tidak berbudi yang memaksakan pengertian dia kepada pemakaian kelompok lain. Jika seorang Inggris berbicara kepada seorang Amerika, bahwa dia sangat suka “football,” lalu orang Amerika itu sadar bahwa football yang dimaksud oleh orang Inggris itu berbeda dengan football Amerika yang dia kenal, maka sangatlah tidak sopan jika orang Amerika itu berbalik menyerang si orang Inggris bahwa football itu bukanlah permainan menggocek bola dengan kaki untuk mencetak gol, melainkan adalah permainan membawa bola dengan tangan ke ujung lapangan. Bukan saja itu tindakan yang tidak sopan, tetapi juga dijamin tidak akan berhasil. Orang Inggris itu akan berkata, “ya itu football bagimu,” sedangkan “football bagi saya adalah demikian.” Demikian juga orang Inggris itu tidak bisa memaksakan pengertian dia tentang football kepada orang Amerika tersebut.
Hal ini sangat mudah dimengerti, tetapi kelompok “anti-Allah” sengaja tidak mau mengertinya. Jika ada orang Kristen yang memakai kata “Allah,” mereka menuduhnya menyembah Tuhan orang Islam. Ini sama konyolnya dengan orang Amerika yang memaksakan arti kata football ala Amerika kepada orang Inggris. Seharusnya, konteks dan pengetahuan tentang siapa yang sedang berbicara dapat menjadi petunjuk yang pasti mengenai makna yang dimaksud.
Ironisnya, orang Islam sendiri sadar bahwa orang Kristen memakai kata “Allah” dengan cara yang berbeda dengan mereka. Ulasan tentang kata “Allah” dalam Wikipedia (yang tentunya didominasi oleh pendapat Muslim) mengandung observasi berikut di bagian akhirnya: “Umat Nasrani lebih menyukai kata Tuhan dibanding kata Allah. Akan tetapi, terjemahan Bible dalam bahasa Indonesia yang dinamakan sendiri oleh para penterjemahnya sebagai ‘Al-Kitab’, menggunakan kata “Allah” untuk ‘Tuhan Bapa’. Jadi, Allah dalam Kristianitas/Nasrani sedikit berbeda dengan Allah dalam pengertian ajaran Islam. Secara pengucapan juga ada perbedaan dengan Allah dalam tradisi Islam. Allah dalam agama Kristen diucapkan dengan ‘alah’, bukan ‘awlloh’ seperti umat Islam ucapkan, Allah dalam tradisi Islam diucapkan dengan logat bahasa Arab.”1
Entry Wikipedia di atas membuktikan bahwa umat Muslim sendiri tahu, bahwa orang Kristen memakai kata “Allah” dengan makna yang berbeda. Umat Kristiani sendiri juga sangat paham bahwa “Allah” yang mereka sembah berbeda dengan “Allah” (Awlloh) Islam. Rupanya yang tidak tahu hanyalah kelompok “anti-Allah” yang memaksa orang Kristen untuk memakai definisi Islam untuk kata “Allah.”
B. Bahwa Bahasa Harus Dipahami Dengan Pendekatan Deskriptif Bukan Preskriptif
Tidak ada satu individu pun yang mengontrol bahasa. Bahasa adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, dan oleh karena itu bahasa berubah sesuai dengan penggunaan masyarakat itu. Di dalam ilmu bidang linguistik ada dua macam pendekatan dalam melihat bahasa: pendekatan preskriptif dan pendekatan deskriptif. Perbedaan antara dua pendekatan ini dapat terlihat jelas dalam pembuatan kamus.
Ada kamus yang dibuat dengan pola pikir bahwa kamuslah yang mendefinisikan arti suatu kata, dan masyarakat harus mengikuti kamus tersebut. Memakai kata yang tidak ada dalam kamus dianggap sebagai penyalahgunaan bahasa. Kamus seperti ini juga memberitahu bahwa kata tertentu harus dipakai dengan cara begini, dan kata lain lagi tidak boleh dipakai dengan cara demikian. Ini adalah pendekatan preskriptif.
Ada lagi kamus yang dibuat dengan pola pikir yang sama sekali berbeda. Kamus ini tidak mencoba untuk menyatakan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, jenis bahasa yang baik atau yang tidak baik, kamus ini hanya menjelaskan bagaimana masyarakat mempergunakan suatu kata. Ini adalah pendekatan deskriptif.
Pendekatan preskriptif memiliki tempatnya tersendiri, dan tidak dapat dihilangkan sama sekali. Pendekatan ini sangat berguna dalam situasi tertentu, misalnya saat mengajarkan bahasa di sekolah kepada anak-anak atau orang asing. Namun demikian, pendekatan preskriptif tidak dapat dipakai untuk menggambarkan realita penggunaan bahasa di masyarakat.
Sebagai contoh dalam bahasa Inggris, kata ain’t sudah lama menuai kritikan para ahli bahasa dan grammarians. Kata ini dianggap sebagai slang yang tidak berguna, dan dalam pelajaran bahasa selalu ditekankan bahwa ini bukanlah kata yang baku.2 Namun demikian, kelompok masyarakat tertentu tetap menggunakan kata ini, dan kata ini juga muncul terus di dalam literatur, terutama novel-novel yang mengutip kata-kata tokoh secara langsung. Pada awalnya, kamus-kamus tidak mau memasukkan kata ain’t ke dalam daftar mereka, karena kata ini dianggap tidak eksis secara resmi dalam tatanan bahasa yang baik dan benar. Tetapi karena kata ini tetap dipakai luas dalam masyarakat, akhirnya berbagai kamus menyertakan juga kata ini.
Contoh di atas mengilustrasi bahwa tidak ada satu organisasi pun, apalagi perorangan atau kelompok, yang dapat mengontrol bahasa dan menentukan bagaimana suatu masyarakat harus berbahasa. Sumbangsih dari setiap anggota masyarakat itulah yang membentuk bahasa itu seiring dengan berjalannya waktu. Usaha-usaha untuk menciptakan “polisi bahasa” selalu gagal.
Kelompok “anti-Allah” mengambil pendekatan preskriptif dalam melihat kata “Allah.” Mereka ingin mendefinisikan apa arti kata “Allah.” Mereka ingin menjadi “polisi bahasa” yang menentukan bagaimana orang harus menggunakan kata tersebut, dan bagaimana kata tersebut tidak boleh digunakan. Karena cocok dengan agenda mereka, mereka mendefinisikan kata “Allah” dengan definisi Islam, yaitu suatu nama pribadi. Mereka sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang menggunakan kata “Allah” dengan makna yang berbeda. Dengan pendekatan seperti itu, maka ada kesenjangan antara “teori” mereka dengan fakta lapangan. Mereka berkata bahwa orang yang menyembah Allah berarti menyembah Tuhan orang Islam. Tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Hampir semua orang Kristen di Indonesia menyembah “Allah,” dan sama sekali tidak menyembah “Tuhan” orang Islam. “Allah” yang dimaksud oleh orang Kristen adalah Allah Tritunggal. Allah yang dimaksud orang Kristen adalah Allah Bapa yang begitu mengasihi dunia sehingga menyerahkan AnakNya. Allah yang dimaksud oleh orang Kristen adalah Yesus Kristus. Allah yang dimaksud orang Kristen adalah Roh Kudus. Ini jelas berbeda dengan konsep Islam. Jadi, walaupun kelompok “anti-Allah” mencoba untuk menentukan bagaimana sebuah kata harus dipakai, mereka telah gagal.
Sudah tiba saatnya bagi kelompok “anti-Allah,” yang sebenarnya terdiri dari banyak individu yang brilian dan semangat untuk Tuhan, untuk menyadari bahwa pendekatan mereka selama ini salah. Dengan pendekatan preskriptif murni, mereka telah berusaha untuk menjadi “polisi bahasa,” dan mendikte bagaimana orang Kristen harus memakai suatu kata. Padahal, orang Kristen sudah sejak ratusan tahun yang lalu memiliki makna tersendiri untuk kata “Allah” yang berbeda dengan konsep Islam.
C. Bahwa Kata Allah Sudah Menjadi Bagian dari Bahasa Indonesia
Satu hal yang harus selalu diingat dalam pembahasan mengenai kata “Allah,” adalah bahwa kata “Allah” sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Memang, kata “Allah” berasal dari bahasa Arab. Namun ratusan tahun yang lalu, kata ini telah masuk ke dalam nusantara dan menjadi bagian dari kosa kata bahasa Indonesia. Jadi, pembahasan kata “Allah” dalam bahasa Indonesia, haruslah mengacu kepada aturan-aturan bahasa Indonesia, bukan bahasa Arab.
Kelompok “anti-Allah” senang membahas tentang kata “Allah” dalam bahasa Arab. Mereka berkata bahwa kata Allah tidak dapat diberi akhiran milik, seperti “Allahku,” “Allahmu,” atau “Allahnya.” Dengan ini mereka berargumentasi bahwa Allah adalah nama pribadi, bukan suatu gelar atau jabatan.
Argumen seperti ini sama sekali tidak mengenai inti persoalan. Bagaimana kata “Allah” dipakai dalam bahasa Arab sama sekali tidak mempengaruhi pemakaiannya dalam bahasa Indonesia. Karena kata “Allah” telah sepenuhnya diserap ke dalam bahasa Indonesia, penggunaannya dalam bahasa Indonesia mengikuti aturan Indonesia, bukan aturan Arab. Sebagai ilustrasi, perhatikanlah contoh kata “manajemen.” Kata ini jelas adalah serapan dari kata “management” dalam bahasa Inggris. Untuk membuatnya menjadi jamak, bahasa Inggris menambahkan “s” menjadi “managements.” Apakah dalam bahasa Indonesia kata ini menjadi jamak dalam bentuk “manajemens,” yaitu dengan penambahan “s”? Tentu tidak! Walaupun kata “manajemen” berasal dari bahasa Inggris, tetapi karena telah diserap ke dalam bahasa Indonesia, ia harus mengikuti aturan bahasa Indonesia.
Hal yang serupa terjadi pada kata Allah yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kelompok “anti-Allah” menyerukan bahwa kata ini tidak dapat diberi akhiran milik. Hal ini bisa saja benar dalam bahasa Arab, tetapi apakah benar dalam bahasa Indonesia? Sedikit survei atas literatur Kristen Indonesia, termasuk juga Alkitab bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa bentuk-bentuk “Allahku,” “Allahmu,” dan sejenisnya, banyak sekali dipakai. Pembaca juga hanya perlu meng-google kata “Allahku” dan “Allahmu” untuk melihat bahwa kedua bentuk ini tidak asing di dunia internet. Jadi sekali lagi ada kesenjangan antara pendekatan preskriptif dengan pendekatan deskriptif. Di satu sisi ada kelompok yang merasa berhak untuk mengatur bagaimana masyarakat menggunakan suatu kata. Di sisi lain, realita yang ada memperlihatkan bahwa masyarakat sudah sejak dulu menggunakan kata tersebut. Ini membuktikan bahwa kelompok manapun, termasuk kelompok “anti-Allah,” tidak dapat dengan serta merta mendikte bagaimana suatu kata boleh atau tidak boleh dipakai dalam masyarakat. Kesalahan mereka dalam kasus kata “Allah” semakin berat jika mengingat bahwa dasar argumen mereka adalah aturan-aturan dalam bahasa Arab, bukan bahasa Indonesia.
D. Bahwa Alkitab Bahasa Indonesia Seharusnya Berisikan Bahasa Indonesia, Bukan Bahasa Lain
Karena menolak kata “Allah,” kelompok anti-Allah tidak tahan melihat dan mempergunakan Alkitab yang diterbitkan oleh LAI, dan mereka menerbitkan Alkitab-Alkitab mereka sendiri. Ada beberapa versi Alkitab yang sudah mereka terbitkan. Dalam Alkitab-Alkitab yang tidak ber-“Allah” ini, mereka harus menemukan kata lain untuk menggantikan “Allah” untuk menerjemahkan elohim dan theos. Ada tiga teknik yang dipakai, yaitu menerjemahkannya sebagai Yahweh/Yehovah, sebagai Tuhan, dan sebagai Elohim. Ketiga-tiganya melanggar prinsip penerjemahan Alkitab.
Pertama, ada sebagian kelompok “anti-Allah” yang menerjemahkan elohim dengan Yahweh atau Yehovah.3 Ini adalah kesalahan yang serius. Di dalam Perjanjian Lama bahasa Ibrani, kedua kata ini muncul, bahkan kadang-kadang muncul bersamaan. Yehovah dan elohim adalah dua kata yang berbeda. Seorang penerjemah Alkitab memiliki tugas untuk menerjemahkan teks asli, bukan untuk mengubahnya. Walaupun seringkali baik elohim maupun Yehovah mengacu kepada pribadi yang sama, tetapi penerjemah tidak memiliki kewenangan untuk menggantikan kata yang satu dengan yang lainnya. Roh Kudus telah menginspirasikan Kitab Suci secara tepat dan kata per kata (verbal). Ketika suatu ayat Firman Tuhan berbunyi elohim, berarti Roh Kudus memiliki alasan untuk menggunakan kata itu dan bukan Yehovah. Menerjemahkan elohim menjadi Yahweh/Yehovah tidak lain adalah tindakan mengubah Firman Tuhan. Hal ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa elohim tidak boleh diterjemahkan “Yehovah,” belum lagi pertimbangan praktis bahwa jika kedua kata ini muncul bersamaan,4 akan sangat lucu dan tidak akurat jika diterjemahkan “Yahweh Yahweh.”
Kedua, sebagian orang dari kelompok “anti-Allah” menerjemahkan elohim atau theosdengan kata “Tuhan.” Sebagai contoh, sebuah Alkitab berjudul “Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan” yang diterbitkan oleh kelompok anti-Allah ini, dan yang mereka sumbangkan kepada GITS, berbunyi “Pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan bumi” (Kejadian 1:1). Ini juga adalah penerjemahan yang sangat tidak akurat. Kata “Tuhan” berasal dari kata “tuan,” dan memiliki pengertian “pemilik.” Hanya saja, jika “tuan” berarti pemilik akan sesuatu, misal “tuan tanah” atau “tuan rumah,” maka “Tuhan” berarti pemilik dari segalanya. Dalam bahasa Inggris, kedua bentuk ini menjadi satu, yaitu “Lord,” dan hanya konteks yang memberitahu apakah “lord” yang dimaksud adalah manusia, ataukah pemilik segala sesuatu, yaitu Sang Pencipta. Dalam kasus ini, Bahasa Indonesia lebih spesifik daripada bahasa Inggris, karena membedakan antara “pemilik” yang sekedar manusia (tuan), dengan “pemilik” alam semesta (Tuhan). Cukup menarik bahwa bahasa Yunani sama dengan bahasa Inggris, yaitu tidak membedakan antara “tuan” (kurios) dengan “Tuhan” (juga kurios). Sebaliknya, bahasa Ibrani sama seperti bahasa Indonesia, memberikan sedikit perbedaan antara “tuan” dengan “Tuhan.” Kata “tuan” dalam bahasa Ibrani adalah adon, sedangkan bentuk adonai selalu mengacu kepada “Tuhan.” Jadi, jelas sekali bahwa elohim tidak bisa diterjemahkan Tuhan, karena Tuhan dalam bahasa Ibrani adalah adonai. Demikian juga theos tidak dapat diterjemahkan Tuhan, karena Tuhan dalam bahasa Yunani adalah kurios.
Ketiga, sebagaimana dalam Kitab Suci ILT (Indonesian Literal Translation) yang diterbitkan oleh Yayasan Lentera Bangsa, Kejadian 1:1 berbunyi “Pada awalnya Elohim menciptakan langit dan bumi.” Tidak ada yang salah dalam hal akurasi “terjemahan” yang satu ini, kecuali bahwa elohim sama sekali bukanlah terjemahan. Sepertinya, para penerjemah ILT menyadari kelemahan dari terjemahan-terjemahan sebelumnya yang memakai “Tuhan” atau “Yahweh.” Mereka mencoba mencari padanan untuk elohim dalam bahasa Indonesia. Jika saja mereka tidak bias, mereka akan sadar bahwa kata “Allah” sudah digunakan ratusan tahun lamanya oleh orang Kristen di Indonesia sepadan dengan kata “Elohim.” Orang Islam boleh saja menggunakan kata “Allah” sebagai nama, tetapi sebagaimana sudah ditunjukkan di bagian sebelumnya, orang Kristen memakai kata “Allah” sepadan dengan “Elohim” atau “God.” Namun karena sikap “anti-Allah” mereka yang didasarkan pada kesalahpahaman linguistik tersebut, mereka menolak kata “Allah.” Tidak ada padanan lain yang cocok5 sehingga mereka akhirnya malah tidak melakukan penerjemahan, melainkan tetap memakai kata elohim.
Tentu saja hal yang dilakukan oleh ILT ini membawa ekses negatif. Orang yang tidak tahu bahasa Ibrani, akan bingung dengan istilah “elohim,” dan sedikit sekali orang yang akan membaca kata pengantar Alkitab ILT untuk mencari tahu arti kata tersebut. ILT telah memaksakan suatu bahasa asing untuk masuk ke dalam Alkitab Indonesia. Pada intinya, GITS tidak keberatan dengan kata elohim, karena memang demikianlah di bahasa aslinya. Keberatan muncul karena ILT tidak lagi menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, padahal tujuan dari penerjemahan adalah agar pembaca tidak perlu mengetahui istilah asing. Apalagi masyarakat Kristen Indonesia sebenarnya memiliki kata yang merupakan padanan sempurna untuk elohim, yaitu kata “Allah.” Jika saja para penerjemah ILT paham prinsip linguistik bahwa suatu istilah dapat dipakai oleh kelompok berbeda dengan arti yang berbeda, maka mereka tidak akan ngotot memberikan pengertian Islam kepada kata “Allah” ketika dipakai oleh orang Kristen.
Kekecewaan GITS atas ILT justru lebih besar lagi di Perjanjian Baru. ILT tetap memakai kata elohim, padahal teks Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani, sehingga sama sekali tidak ada kata elohim dalam Perjanjian Baru yang asli, melainkan kata theos. Jika ILT sudah mentransliterasikan elohim di Perjanjian Lama, mengapa tidak juga mentransliterasikan theos dalam Perjanjian Baru. Yang terjadi justru adalah keanehan yang luar biasa, ILT bukan menerjemahkan theos ke dalam bahasa Indonesia, malah menerjemahkannya ke dalam bahasa Ibrani! Sekali lagi karena kesalahpahaman linguistik mereka tentang kata “Allah,” mereka malah mencoba untuk menciptakan suatu kata serapan baru.
Yang lebih mengecewakan lagi adalah munculnya kata “Yahweh” dalam Perjanjian Baru ILT. Dalam Matius pasal 1 saja, ILT memakai Yahweh tiga kali (ay. 20, 22, dan 24). Fenomena ini tidak terbatas pada Matius, tetapi mencakup keseluruhan Perjanjian Baru, dari Matius hingga Wahyu. Memasukkan Yahweh ke dalam suatu terjemahan Perjanjian Baru sungguh adalah kekeliruan besar atau bahkan dapat dikatakan suatu penipuan. Masyarakat Kristen Indonesia layak mendapatkan suatu terjemahan yang akurat, yang menerjemahkan teks asli Alkitab apa adanya tanpa bias theologi para penerjemah. Masyarakat Kristen Indonesia tidak perlu disuguhi penafsiran atau hipotesis para penerjemah, kami hanya perlu penerjemahan yang apa adanya. Pada awalnya, Indonesian Literal Translation nampak sangat berpotensi, dan GITS senang dengan beberapa poin dari ILT, antara lain bahwa terjemahan ini berbasiskan Textus Receptus dan bukan Critical Text. Tetapi dengan memasukkan kata “Yahweh” ke dalam Perjanjian Baru, mereka memperlihatkan bahwa tujuan utama mereka bukanlah akurasi, melainkan agenda “anti-Allah.” Adanya “Yahweh” dalam Perjanjian Baru membuat mereka sama sekali tidak literal dan kehilangan segala kredibilitas.
Dalam kata pengantar mereka, para penerjemah ILT menjelaskan bahwa kata elohimdalam Perjanjian Baru berasal dari Hebrew New Testament. Betapa beraninya mereka mengakui kesalahan mereka! Mereka bukan menerjemahkan dari teks bahasa asli (Yunani), melainkan dari teks terjemahan lainnya (HNT). Tidak jelas mengapa para penerjemah ILT harus mengacu kepada HNT dalam penerjemahan Perjanjian Baru. GITS mendapatkan bahwa sebagian kelompok “anti-Allah” percaya bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani. Apakah para penerjemah ILT termasuk dalam kategori ini? Mereka menerjemahkan sebagian besar Perjanjian Baru dari Textus Receptus, tetapi menggunakan HNT untuk nama-nama ilahi. Ini sungguh tidak masuk akal dan tidak konsisten! Jika mereka percaya bahwa TR adalah teks asli, maka mereka punya tanggung jawab untuk menerjemahkan secara tepat dari TR, bukannya malah comot sana sini dari HNT yang adalah terjemahan dari TR juga. Yang jelas, doktrin sesat bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani telah dibantah dalam Pedang Edisi 61 (http://www.graphe-ministry.org/downloads/Pedangroh/Pedang_Roh_Edisi_61.pdf).
Kekacauan konsep antara yang mana adalah terjemahan dan yang mana adalah bahasa asli tidak hanya menjangkit kepada para penerjemah ILT atau Kitab Suci “anti-Allah” lainnya, melainkan juga meluas di kalangan awam mereka. Penulis, sebagai Purek Akademis GITS, sering mendapat sms dari kalangan “anti-Allah” yang mengajak untuk berdebat/berdiskusi masalah penggunaan kata “Allah.” Kadang-kadang ada sms atau argumen yang memperlihatkan kesalahpahaman yang besar sekali. Sebagai contoh, penulis pernah mendapat sms seperti demikian: “Mengapa masih memakai Allah, coba tunjukkan di mana ada Allah dalam teks asli Ibrani dan Yunani.”
Argumen seperti demikian sesungguhnya lebih mengundang tawa daripada merupakan ancaman yang serius. Tentu saja tidak ada kata “Allah” dalam teks asli Alkitab dalam bahasa Ibrani dan Yunani, karena kata “Allah” bukanlah bahasa Ibrani atau Yunani. Dalam teks Ibrani ada kata “Elohim,” dan dalam teks Yunani ada kata “Theos” yang diterjemahkan menjadi kata “Allah” dalam Alkitab Indonesia. Hal ini tampaknya sangat sederhana, tetapi orang yang mengirim sms tersebut tidak mau mengerti. Jika ngotot bahwa kata “Allah” tidak boleh ada karena absen dalam teks bahasa asli, maka berdasarkan logika yang menyimpang ini kata “God” juga tidak boleh ada dalam Alkitab Inggris, karena tidak muncul dalam teks asli Ibrani dan Yunani. Bahkan juga tidak boleh ada kata “saya,” “kamu,” atau “dia,” karena semuanya tidak ada dalam teks bahasa asli. Tentunya pembaca bisa melihat kebodohan argumen ini. Sungguh, ketika seseorang bukan mencari kebenaran melainkan ingin mempertahankan suatu agenda, maka dia tidak lagi menilai bukti dengan objektif. Sudah tiba saatnya bagi kelompok “anti-Allah” untuk membuka mata mereka atas kesalahpahaman linguistik yang telah mereka lakukan selama ini.
E. Bahwa Kata “Yehovah” Juga Bisa Dipakai Dengan Berbagai Arti
Kelompok “anti-Allah” sebenarnya menerapkan standar ganda dalam berbagai argumen mereka. Di satu sisi, mereka tidak mau menerima bahwa kata “Allah” bisa memiliki banyak arti. Jika orang Kristen menggunakan kata “Allah,” mereka segera menuduh menyembah ilah Islam. Percuma saja si orang Kristen mencoba menjelaskan bahwa dia menggunakan kata “Allah” secara berbeda dengan kata “Allah” dalam konsep Islam. Semua argumen ini tidak akan diterima oleh mereka. Sekali pakai kata “Allah,” segera anda digeneralisir, dicap, dan divonis sebagai seorang “Islam.”
Padahal, kelompok “anti-Allah” ini sebenarnya berada dalam posisi yang sama persis. Mereka menggunakan kata “Yehovah,” tetapi apakah mereka tidak tahu bahwa ada banyak kelompok yang mempergunakan kata “Yehovah” secara salah. Contoh yang paling jelas adalah kelompok Saksi Yehovah yang sudah ada sejak abad ke-19 (bandingkan dengan kelompok “anti-Allah” yang baru muncul di akhir abad ke-20). Kelompok Saksi Yehovah juga menggunakan kata “Yehovah,” tetapi apakah ini berarti kelompok “anti-Allah” menyembah “Yehovah” yang sama dengan mereka?
Dari pengalaman penulis, orang-orang “anti-Allah” paling alergi jika disamakan dengan Saksi Yehovah. Dengan lantang mereka akan berkata, “Kami bukan Saksi Yehovah.” Hal ini sangat dapat dimengerti, karena memang Saksi Yehovah adalah suatu bidat yang pengajarannya sama sekali tidak Alkitabiah, bahkan bersifat membinasakan. Penulis juga tidak mengatakan bahwa kedua kelompok ini sama. Sama sekali tidak, mereka sangat berbeda. Mereka memang sama-sama menggunakan nama Yehovah (GITS juga menjunjung dan menggunakan nama Yehovah), tetapi Yehovah yang dimaksud berbeda. “Yehovah” yang orang Kristen percayai adalah Yehovah yang Tritunggal, sedangkan “Yehovah” dalam organisasi Watchtower (Saksi Yehovah) bukan Tritunggal. Yehovah dalam Alkitab memperingatkan orang berdosa akan api neraka yang riil dan kekal, sedangkan Saksi Yehovah bahkan tidak percaya ada neraka. Ini hanya sekilas pintas perbedaan yang banyak sekali antara dua konsep “Yehovah” ini.
GITS tidak mempermasalahkan jika orang Kristen (termasuk kelompok “anti-Allah”) menggunakan nama Yehovah, karena GITS sadar bahwa satu kata bisa saja dipakai dengan makna yang berbeda oleh kelompok yang berbeda. Bahwa seorang Kristen memakai kata “Yehovah,” tidak serta merta berarti dia adalah seorang Saksi Yehovah. Kelompok “anti-Allah” juga mengaminkan hal ini. Mereka terus menerus menegaskan bahwa “Yehovah” mereka berbeda dengan “Yehovah”-nya Saksi Yehovah. GITS tidak mempermasalahkan hal ini. Tetapi, bukankah sangat tidak fair jika kelompok “anti-Allah” lalu tidak mau memberikan kelonggaran yang sama kepada orang Kristen yang memakai kata “Allah”? Mengapakah kelompok “anti-Allah” boleh memakai kata “Yehovah” dalam pengertian yang berbeda dengan Saksi Yehovah, sedangkan orang Kristen tidak boleh memakai kata “Allah” dalam pengertian yang berbeda dari orang Islam? Bukankah ini kemunafikan? Sudah tiba saatnya bagi kelompok “anti-Allah” untuk menyadari, bahwa baik itu kata “Allah” ataupun kata “Yehovah,” tidak ada yang bersifat keramat. Keduanya bisa dipakai untuk mengacu kepada Pencipta yang sejati sesuai dengan di dalam Alkitab, dan keduanya juga bisa dipakai untuk mengacu kepada ilah lain yang tidak sesuai dengan gambaran sang Pencipta.
F. Bahwa Kata “Allah” Secara Etimologis Berasal dari Kata Elohim/Eloah
Artikel ini tidak akan membahas apakah “Allah” berasal dari “al-ilah” atau tidak. Penulis percaya bahwa kata “Allah” memang berasal dari kata “al-ilah,” namun mengapa harus berhenti pada “al-ilah”? Semua orang yang sungguh-sungguh percaya Alkitab, percaya bahwa semua bahasa di dunia ini berasal dari satu bahasa, yaitu bahasa yang dipakai oleh manusia sebelum peristiwa menara Babel (Kej. 11). Bahasa apakah itu? Tidak diragukan lagi bahwa bahasa yang paling awal, bahasanya Adam dan Hawa, bahasa persatuan yang dikacaukan oleh Tuhan di menara Babel, adalah bahasa Ibrani.
Walaupun orang-orang liberal dan para linguis atheis mengklasifikasikan Ibrani sebagai bahasa yang muda, namun sebenarnya bahasa Ibrani adalah bahasanya Adam dan Hawa. Bahasa mana lagi yang dapat cocok dengan narasi dalam kitab Kejadian. Manusia pertama disebut Adam karena dia diambil dari tanah. Hanya dalam bahasa Ibrani kata adamahberarti “tanah.” Wanita pertama disebut Hawa (ibu segala yang hidup), dan dalam bahasa Ibrani, kata hawwah memiliki arti “kehidupan.” Bukti-bukti seperti ini menumpuk.
Jika bahasa Ibrani adalah bahasa awal umat manusia, maka semua bahasa lain berasal dari bahasa Ibrani. Ada satu cabang linguistik baru yang menelusuri semua bahasa kembali ke Ibrani, yaitu Edenics. Buku “The Origin of Speeches” oleh Isaac E. Mozeson adalah contoh Edenics dipraktekkan untuk menemukan hubungan antara kata-kata dalam berbagai bahasa dengan kata aslinya dalam bahasa Ibrani. Buku ini sangat menarik, dan memperlihatkan bahwa sungguh kisah menara Babel adalah benar. Seringkali, kata-kata dalam bahasa Ibrani diubah urutannya dalam bahasa lain (yang dikacaukan Tuhan). Sebagai contoh, kata camel (Inggris: unta) berasal dari kata gamal (Ibrani: unta). Katagiraffe berhubungan secara etimologis dengan kata oref (Ibrani: punggung leher), katasparrow (pipit) berhubungan dengan kata tsipor (Ibrani: burung), bahkan kata kerbaujuga berhubungan dengan kata baqar (Ibrani: sapi, kerbau) melalui proses pemindahan huruf.
Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari ribuan yang ada dan yang sudah ditelusuri oleh cabang linguistik edenics. Intinya adalah bahwa banyak sekali kata-kata di seluruh bahasa dunia yang saling berhubungan dan yang akhirnya kembali lagi ke Ibrani. Dalam kasus “Allah,” tidak perlu menjadi seorang ahli bahasa yang luar biasa untuk bisa melihat bahwa Allah (Arab), ilah (Arab), Allah (Indonesia), elaha (Aram), alaha (Syriac) dan eloah (Ibrani) semuanya berhubungan satu dengan lainnya. Hanya mereka yang punya agenda tertentu yang menolak melihat hubungan etimologis yang nyata di depan mata ini. Kata eloah dalam bahasa Ibrani memiliki dasar tiga huruf mati: Aleph, Lamed, dan Hey. Kata “Allah” dalam bahasa Arab terdiri dari Alif, Lam, Lam, dan Ha. Tidak sulit untuk melihat hubungan etimologisnya.
Entah sebagai bahan canda atau dengan keseriusan, kelompok “anti-Allah” kadang-kadang merujuk kepada kata allah dalam Yosua 24:26, yang diterjemahkan “pohon besar” sebagai etimologi dari kata “Allah.” Ini jelas adalah argumen yang konyol dan cara berpikir yang tidak mengerti prinsip-prinsip linguistik. Dalam mencari etimologi, seoranglinguist bukan hanya mencari kesamaan bentuk (yang bisa saja karena kebetulan), tetapi juga mencari persaman arti. Jika hanya melihat bentuk, maka bisa saja diambil kesimpulan bahwa air (Inggris: udara) berasal dari air (Indonesia: air). Padahal kedua kata ini tidak berhubungan secara etimologis sama sekali. Demikian juga allah yang berarti “pohon besar,” walaupun mirip bentuknya, bukanlah etimologi dari “Allah.” Sebaliknya, jelas bahwa eloah (God) adalah etimologi dari elaha, alaha, ilah, Allah, yang semuanya merujuk kepada sesuatu atau pribadi yang disembah.6
Mengenai etimologi, kelompok “anti-Allah” menghabiskan banyak waktu dan argumen untuk mencoba membuktikan bahwa “Allah” tidak berasal dari “al-ilah.” Namun demikian mereka sendiri tidak mengajukan etimologi dari kata “Allah.” Satu pertanyaan yang tidak mereka jawab adalah: “kalau bukan dari al-ilah, atau kalau bukan dari eloah, apa sebenarnya etimologi Allah menurut kalian?” Sudah menjadi aturan umum, bahwa kritikan yang berbobot atas suatu hal, haruslah menawarkan solusi alternatif yang lebih baik. Selama ini kelompok “anti-Allah” berfokus untuk menyerang semua upaya menelusuri etimologi dari kata Allah. Jika mereka memang memiliki substansi dalam keberatan mereka, maka mereka harus dapat memberikan alternatif yang lebih baik.
Sama sekali tidak dapat diterima dalam ilmu linguistik untuk mengatakan bahwa “Allah” tidak memiliki etimologi. Argumen ini penulis dapatkan dari seorang tokoh “anti-Allah” yang berdebat lewat sms. Dia mengatakan bahwa nama pribadi tidak memiliki etimologi. Tentunya ini adalah konsep yang sangat salah. Buku-buku nama bayi yang tersedia di toko-toko buku seluruh dunia menyajikan etimologi dari hampir semua nama bayi yang lazim. Mengatakan bahwa kata “Allah” tidak memiliki etimologi adalah pelarian diri dari masalah, dan suatu pengakuan bahwa mereka tidak punya alternatif yang lebih baik, dan hanya ingin meruntuhkan upaya-upaya penelusuran etimologi demi kepentingan theologis mereka.
II. Kesalahan Theologis Kelompok “Anti-Allah”
Orang-orang Yahudi pernah membuat kesalahan theologis yang sangat besar berkaitan dengan nama sang Pencipta. Terpukau oleh keagungan dan kedahsyatan Tuhan di gunung Sinai, tetapi tanpa pengertian rohani yang sejati, banyak orang-orang Yahudi yang tidak sungguh beriman salah menerapkan Hukum yang ketiga. “Janganlah menyebut nama YEHOVAH, Allahmu, dengan sembarangan..” (Kel. 20:7). Ayat ini Tuhan berikan untuk menanamkan rasa hormat kepada diriNya, bukan untuk melarang penggunaan namaNya sama sekali. Terbukti, orang-orang Yahudi yang beriman (misalnya para nabi, dan para penulis Perjanjian Lama lainnya) menggunakan nama Yehovah dengan baik dan benar di dalam halaman-halaman Kitab Suci.
Kelompok “anti-Allah” juga tahu akan kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi tidak beriman tersebut. Mereka, dengan benar, mencerca kesalahan theologis yang menyebabkan sebagian orang Yahudi tidak berani untuk mengucapkan nama Yehovah. Kelompok “anti-Allah” menganggap bahwa mereka punya misi untuk berbuat kebalikan dari yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi tidak beriman itu. Mereka kini gencar sekali menggunakan nama Yehovah. Namun dalam usaha mereka untuk melawan kesalahan Yahudi dalam hal tidak mengucapkan nama Yehovah sama sekali, mereka justru jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan theologis lainnya di ujung spektrum yang berlawanan.
A. Bahwa Memakai Nama Yehovah/Yahweh Akan Membuat Seseorang Lebih Rohani
GITS, sebagai institusi pembelajaran Alkitab, tentu sangat senang jika orang Kristen semakin kenal dengan nama Yehovah. Tidak ada yang salah dengan menggunakan nama Yehovah dengan baik dan benar, disertai oleh pengertian rohani akan makna dari nama itu. Orang Yahudi telah salah total dalam ketakutan mereka untuk menyebut apa yang mereka namai “tetragramaton.” Namun dalam semangat mereka untuk melawan kesalahan Yahudi tersebut, orang-orang dari kelompok “anti-Allah” justru menjadi ekstrim ke arah yang berlawanan. Mereka menyebut-nyebut Yehovah (mereka lebih sering memakai Yahweh) dalam hampir setiap kesempatan.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran, bahwa sebagian orang menganggap penggunaan nama Yehovah akan membuat dia lebih rohani. Ini mirip dengan fenomena di kalangan tertentu yang sering menyebut “Jesus, Jesus, Jesus…” di mana-mana. GITS sama sekali tidak ada masalah dengan penggunaan nama-nama ilahi, baik itu Yesus maupun Yehovah, asal tidak dengan pengertian yang salah. Namun jika ada pihak yang berpikir bahwa hanya dengan menyebut nama-nama ini mereka terdengar lebih rohani, maka mereka telah gagal menyadari kerohanian yang sesungguhnya.
Masih dalam satu topik pembicaraan, banyak pihak telah memperhatikan bahwa kelompok “anti-Allah” dalam banyak hal mencoba untuk men-yahudi-kan orang Kristen. Mereka sering tidak menyebut Yesus melainkan Yeshua. Mereka tidak menyebut Kristus, melainkan Hammasiakh (bahasa Ibrani yang artinya: sang Mesias; Khristos adalah bahasa Yunani untuk Mesias) Mereka mengganti kata “Yohanes” dengan versi Ibraninya, yaitu Yokhanan, Matius dengan Mattithyahu, Yakub menjadi Ya’aqov, Musa menjadi Moshe, dan Yesaya dengan Yeshayahu, sebagai contoh.7
Tidak jelas bagi penulis apa motivasi dibalik peng-ibranian segala istilah yang tadinya sudah sangat dikenal oleh orang Kristen di Indonesia. Sepertinya ada sikap bahwa semakin Ibrani seorang Kristen, maka semakin rohani ia. Ini adalah sikap yang sangat berbahaya, dan dapat membuat orang yang kebetulan menguasai bahasa Ibrani merasa diri sangat rohani. Padahal tidak ada hubungan antara ke-Ibrani-an seseorang dengan kerohaniannya. Kelompok “anti-Allah” justru semakin terjerembab kepada konsep Islam. Banyak orang Islam merasa bahwa semakin “Arab” dirinya, semakin rohani ia. Posisi kelompok “anti-Allah” sama, hanya mengganti “Arab” dengan Ibrani.
Alkitab tidak pernah menyuruh seorang percaya di zaman Perjanjian Baru untuk menjadi Yahudi. Tentu adalah suatu hal yang baik jika seorang Kristen bisa belajar bahasa Yunani dan Ibrani, mengerti tentang berbagai latar belakang Alkitab, dan tahu adat-istiadat zaman-zaman Alkitab agar dapat mengerti Kitab Suci lebih baik lagi. Namun Tuhan tidak pernah menyuruh orang percaya untuk berbicara seperti orang Ibrani, atau berpola pikir Ibrani-centric.
Selain dapat menimbulkan rasa superioritas kerohanian yang semu, peng-ibranian hal-hal Kristiani ini juga berpotensi menimbulkan kebingungan besar di kalangan awam. Sebagai seorang dosen bahasa Ibrani, penulis tidak kesulitan sedikitpun mengerti dan memahami apa yang dikatakan atau dilakukan oleh kelompok “anti-Allah” ini. Namun orang awam akan mudah menjadi bingung. Ambil saja contoh istilah Yeshua Hammasiakh. Orang Kristen jauh lebih mengenal nama Yesus. Pada kenyataannya, Anak Allah yang menjelma menjadi manusia memang tercatat bernama Iesous dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani, sehingga transliterasi ke “Yesus” sudah tepat. Tidak pernah dalam Alkitab bahasa asli muncul istilah “Yeshua Hammasiakh,” yang ada adalah “Iesous Khristos.” Walaupun mungkin saja Tuhan Yesus dipanggil “Yeshua” oleh orang-orang Yahudi yang hidup sezaman denganNya, faktanya tetap saja bahwa para Rasul menuliskan “Iesous” dalam Perjanjian Baru. Tidak ada alasan untuk mengubah nama “Yesus” yang sudah sangat dikenal dan dicintai oleh orang percaya, kecuali jika kelompok “anti-Allah” main mata dengan teori tak berdasar bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani.
B. Bahwa Seseorang Perlu Menyebut Nama Yehovah Untuk Diselamatkan
Dalam sebuah percakapan dengan seorang tokoh “anti-Allah,” penulis dikagetkan oleh konsep yang dia ajukan yaitu bahwa orang harus menyebut nama “Yahweh” agar dapat diselamatkan. Mereka memakai ayat-ayat seperti Roma 10:13 untuk mendukung doktrin ini, “Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.” Nama Tuhan ditafsirkan sebagai “Yahweh” atau “Yehovah,” dan mereka mengharuskan penyebutan nama ini untuk keselamatan jiwa seseorang.
Doktrin ini adalah doktrin yang sangat berbahaya, dan yang tidak didukung oleh Alkitab. Roh Kudus dengan tegas menuliskan bahwa “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis. 4:12). Nama yang dimaksud di ayat 12 ini adalah nama Yesus Kristus (ay. 10). Di zaman jemaat lokal ini, seseorang perlu mengenal dan mengetahui apa yang Yesus Kristus lakukan baginya, dan percaya menerima Yesus Kristus, barulah ia diselamatkan. Tidak ada indikasi sedikitpun bahwa ia harus tahu nama Yehovah. Bahkan dalam seluruh Perjanjian Baru, nama Yehovah tidak satu kali pun muncul!
Banyak orang Kristen, termasuk penulis, belum mengenal nama Yehovah sewaktu diselamatkan. Barulah setelah belajar Kitab Suci secara lebih mendalam, nama Yehovah menjadi tidak asing lagi. Kalau mereka mau jujur, banyak individu di kelompok “anti-Allah” juga pastilah demikian, yaitu baru mengenal nama Yehovah belakangan. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak diselamatkan sebelumnya.
Salah satu hal yang tidak dipahami oleh kelompok “anti-Allah” adalah bahwa dalam Perjanjian Lama, Tuhan menekankan nama Yehovah. Namun dalam Perjanjian Baru, Tuhan sama sekali tidak menekankan nama ini (terbukti nama ini tidak dituliskan satu kalipun oleh para penulis PB) karena Tuhan menekankan nama Yesus. Orang-orang kelompok “anti-Allah” salah zaman. Mestinya mereka lahir di zaman Perjanjian Lama. Tidak ada yang salah dengan mengenal, mengasihi, dan mempergunakan nama Yehovah. Namun bukanlah panggilan orang percaya Perjanjian Baru untuk mengagungkan nama ini lebih dari nama Yesus Kristus. Bagi kita yang hidup di zaman Perjanjian Baru, fokus kita seharusnya adalah pada nama Yesus yang tak tertandingi.
Sumber: http://graphe-ministry.org/articles/2009/11/125/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar