Orang Kristen yang percaya Alkitab
mempercayai apa yang Paulus katakan dan ajarkan, bahwa “keselamatan” adalah
“oleh iman kepada Kristus Yesus” (2 Tim. 3:15). Kebenaran ini bukan hanya satu
dua kali diserukan, tetapi berulang kali diajarkan dan ditekankan oleh
penulis-penulis yang terinspirasi. Jadi, iman adalah komponen yang sangat
penting dalam keselamatan, yaitu menjadi syarat keselamatan. Oleh karena
pentingnya iman dalam keselamatan, sangatlah penting bagi orang percaya untuk
memahami secara persis tentang iman itu sendiri.
Dalam artikel pendek ini, isu yang
dibahas adalah mengenai asal usul iman. Apakah iman berasal dari Allah sebagai
suatu pemberian, ataukah iman adalah respons manusia, suatu tanggung jawab
individu? Isu ini adalah sesuatu yang memisahkan antara Kalvinis dan
non-Kalvinis.
Kalvinisme
mengusung konsep bahwa keselamatan seseorang sebenarnya ditentukan oleh Allah
dalam kekekalan melalui dekrit rahasia. Penentuan Allah atas keselamatan
seseorang ini bersifattidak bersyarat (unconditional election).
Jadi, dalam Kalvinisme, seseorang yang dipilih untuk diselamatkan, akan
dilahirbarukan (tanpa dapat ditolak, irresistible grace), dan
kemudian pasti akan menjadi percaya, atau dengan kata
lain dibuat menjadi percaya. Dengan demikian, posisi Kalvinis
secara alami adalah bahwa iman, atau percayanya seseorang, itu sebenarnya
tergantung kepada Allah. Kalau Allah memilih seseorang, maka Allah akan
melahirbarukannya, dan ia akan percaya. Percaya atau iman adalah salah satu
dari mata rantai tindakan Allah pada diri orang pilihan. Oleh karena itu,
Kalvinis mengatakan bahwa iman adalah karunia atau pemberian Allah.
G.
J. Baan adalah tipikal Kalvinis ketika ia menulis: “Iman ini dikerjakan oleh
Roh Kudus, yang adalah Pekerja dan Penanam iman.
Melalui Panggilan dan kelahiran kembali, Roh Kudus telah menanamkan iman di
dalam hati.”1 Perhatikan kata “menanamkan”
yang dipakai. Dalam skema Kalvinis, manusia sama sekali pasif, tidak
bertanggung jawab untuk ada atau tidak adanya iman di dalam dirinya. Roh
Kuduslah yang “menanam,” yang mengerjakan melalui “panggilan” dan “kelahiran
kembali.”
Sebaliknya, non-Kalvinis melihat bahwa
iman adalah tanggung jawab dan respons manusia terhadap Injil keselamatan. Iman
adalah sikap percaya dan menerima karya keselamatan yang lengkap diselesaikan
oleh Yesus Kristus. Ada banyak ayat Alkitab yang mengajarkan hal ini, yang akan
dipaparkan nanti, tetapi artikel ini ingin mengemukakan bahwa sebenarnya
non-Kalvinis (yang Alkitabiah) tidak menentang konsep bahwa iman adalah karunia
Allah. Ini mungkin mengejutkan, tetapi dapat ditegaskan bahwa non-Kalvinis juga
bisa melihat iman sebagai karunia atau pemberian Allah! Tentu paham “karunia”
atau “pemberian” di sini berbeda dengan paham Kalvinis.
Non-Kalvinis percaya bahwa iman adalah
karunia atau pemberian Allah, tetapi dalam pengertian yang tidak bertentangan
dengan konsep bahwa iman adalah tanggung jawab atau respons manusia. Artinya,
non-Kalvinis dapat mengakui kedua kebenaran ini: iman adalah karunia/pemberian
Allah, sekaligus juga adalah tanggung jawab manusia.
Secara
lebih mendetil, bisa dikatakan bahwa iman adalah karunia Allah bagi manusia
karena beberapa hal. Pertama, manusia tidak mungkin bisa beriman kepada Allah
tanpa dimampukan oleh Roh Kudus. Sebagian Kalvinis mengira bahwa non-Kalvinis
percaya manusia bisa percaya kepada Yesus dengan kemampuannya sendiri. Hal ini
sama sekali tidak benar untuk non-Kalvinis yang Alkitabiah.2 Alkitab tegas mengatakan bahwa
“Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik
oleh Bapa yang mengutus Aku.” Ayat ini tidak perlu dibaca dengan
pengertian Kalvinistik, tetapi ayat ini menegaskan bahwa kemampuan untuk datang
kepada Yesus adalah suatu karunia.3 Tanpa tindakan Allah menarik
manusia, ia tidak mungkin beriman. Kedua, iman adalah karunia Allah karena Allah memberikan kesempatan kepada manusia
untuk beriman. Allah bisa saja memusnahkan manusia sebelum ada kesempatan untuk
beriman. Tetapi setiap orang percaya haruslah mengucap syukur bahwa Allah memberikannya waktu
dan kesempatan untuk beriman. Itu adalah suatu karunia. Selain itu, iman
juga bisa dikatakan karunia Tuhan karena Tuhan-lah yang menyediakan objek iman,
yaitu Yesus Kristus. Jika Yesus Kristus tidak datang ke dalam dunia, tidak ada
yang dapat kita imani untuk keselamatan kita. Dari ini semua, cukup jelas bahwa
iman adalah karunia Allah.
Tetapi, penjelasan tentang karunia iman di atas tidaklah bertentangan
dengan konsep alkitabiah bahwa iman adalah tanggung jawab manusia. Artinya,
walaupun Allah memampukan seseorang untuk beriman (melalui kerja Roh Kudus
dalam hatinya), dan memberikan kesempatan dia untuk beriman, dan menunjukkan
kepadanya Yesus Kristus sebagai objek iman, orang yang bersangkutan itu
sendirilah yang harus beriman. Tidak mungkin juga Tuhan yang beriman untuk
orang tersebut. Dan ada kemungkinan bahwa walaupun Roh Kudus sudah bekerja
dalam hati seseorang untuk menarik dia kepada Yesus, orang itu tetap menolak
untuk beriman. Keputusan untuk beiman atau tidak beriman tetap merupakan
tanggung jawab individu.
Jadi, iman adalah karunia, karena Allah
memampukan manusia beriman (dan hal-hal lain), tetapi iman juga tanggung jawab
karena keputusan untuk beriman atau tidak tetap adalah respons individu, bukan
ditentukan oleh Allah. Konsep karunia seperti ini cocok dengan konsep karunia
pada umumnya. Jikalau seseorang memberikan kepada temannya suatu karunia, atau
hadiah, orang itu tetap dapat merespon, menerima atau menolak hadiah tersebut.
Sekalipun seseorang tidak perlu membayar, atau bekerja, tetap saja ia harus
memilih untuk menerima suatu hadiah. Kalau ia tidak menerimanya, maka hadiah
yang sudah disediakan baginya itu tidak akan dapat ia nikmati. Ini paralel
dengan keselamatan atau iman yang adalah karunia, namun tanpa menghilangkan
adanya tanggung jawab untuk menerima karunia itu.
Jika demikian, apakah konsep
non-Kalvinis ini menjadi sama dengan Kalvinis? Bukankah keduanya mengakui bahwa
iman adalah karunia Allah? Tidak juga. Pertama, Kalvinis tidak mau menegaskan
bahwa iman adalah tanggung jawab atau respons manusia. Dan, mereka
memiliki konsep yang berbeda tentang iman sebagai “karunia Allah.” Konsep
Kalvinis adalah bahwa kalau seseorang dipilih, maka ia pasti beriman.
Iman dalam Kalvinismeadalah salah
satu hasil pemilihan. Dengan demikian, sebenarnya posisi Kalvinis adalah bahwa
iman adalah karunia yang tidak dapat ditolak, selaras dengan
pengajaran mereka tentang irresistible grace. Terkadang, dalam perdebatan antara Kalvinis dengan
non-Kalvinis, ada non-Kalvinis yang menentang konsep “iman adalah pemberian
Allah.” Tetapi, yang ditentang sebenarnya adalah “karunia” dalam pengertian
“tidak dapat ditolak.” Non-Kalvinis tidak menentang konsep iman sebagai karunia
yang tetap harus diterima, tetapi bisa juga ditolak, oleh manusia.
Jadi, non-Kalvinis percaya bahwa iman
adalah tanggung jawab manusia, dan JUGA karunia Allah. Tanpa kerja Roh Kudus, kesempatan yang Allah berikan, dan
objek iman Yesus Kristus, manusia berdosa tidak mungkin bisa beriman. Namun,
setiap individu tetap harus bertanggung jawab untuk beriman. Ia bisa menolak
tarikan Allah. Sebaliknya, Kalvinis mengajarkan iman sebagai suatu
pemberian/karunia yang tidak dapat ditolak. Pembaca sekalian bisa memutuskan,
apakah sesuatu cocok untuk disebut karunia jika tidak dapat ditolak, ataukah
suatu karunia tetap harus diterima. Bagian berikut artikel ini akan membahas
yang mana dari kedua model ini yang benar, berdasarkan ayat-ayat
Alkitab, danargumentasi lainnya.
A. Iman Adalah Karunia Allah
Kalvinis terkadang menunjuk kepada ayat-ayat Alkitab yang mengindikasikan
bahwa iman adalah suatu karunia, dan mereka berpikir bahwa hal ini membenarkan
Kalvinisme. Tetapi, sebenarnya, seperti yang sudah dibahas di
atas, non-Kalvinis yang alkitabiah juga percaya bahwa iman
adalah karunia, jadi ayat-ayat ini tidaklah mendukung Kalvinisme. Kalvinisme
baru akan terbukti benar jika ada ayat yang mengajarkan bahwa iman adalah
karunia yang tidak dapat ditolak. Tetapi tidak
ada ayat yang mengajarkan bahwa iman adalah karunia yang tidak dapat
ditolak. Berikut adalah beberapa ayat
yang terkadang disalahgunakan.
Filipi 1:29 “Sebab kepada
kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk
menderita untuk Dia”
Ayat ini sering dipakai untuk
membuktikan bahwa “iman adalah karunia.” Tetapi sekali lagi, konsep demikian tidaklah membahayakan bagi non-Kalvinis.
Sebaliknya, kita bertanya, apakah ayat ini membicarakan karunia yang tidak dapat
ditolak, ataukah suatu karunia dalam pengertian normal, yaitu sesuatu yang bisa
ditolak dan bisa diterima?
Poin ayat ini sebenarnya adalah untuk
menegarkan orang percaya terhadap penderitaan yang akan datang dalam perjuangan
hidup Kristiani. Karunia untuk percaya diparalelkan dengan karunia untuk
menderita bagi Kristus. Bagaimanakah “menderita bagi Kristus” bisa dianggap
karunia? Apakah hal itu terjadi tanpa tanggung jawab manusia. Apakah seseorang
ditentukan untuk menderita bagi Kristus secara sepihak oleh Tuhan, ataukah ada
respons manusia yang dituntut?
Ada banyak ayat yang menegaskan tanggung
jawab manusia untuk ikut menderita dalam perjuangan Kristiani. Misalnya,
Paulus berkata “Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari
Kristus Yesus” (2 Tim. 2:3). Penderitaan
bukanlah sesuatu tanpa tanggung jawab manusia. Ada ajakan untuk ikut
menderita, ada respons manusia yang diminta oleh Tuhan.Namun demikian,
menderita juga disebut karunia karena kemuliaan Tuhan
janjikanmenyertai penderitaan itu. Jadi, ayat ini sama sekali tidak mendukung
konsep iman sebagaikarunia yang tidak dapat ditolak, tetapi cocok dengan
konsep iman sebagai karunia dalam pengertian non-Kalvinis, yaitu karunia yang tetap menuntut respons manusia.
Efesus 2:8 “Sebab karena
kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi
pemberian Allah”
Kalvinis terkadang memakai ayat ini
untuk mengatakan bahwa “iman” adalah pemberian Allah, dan lebih lanjut lagi,
bukanlah “hasil usahamu,” sehingga bukanlah tanggung jawab manusia. Tetapi
pengertian seperti ini sangatlah salah dan asing bagi ayat ini. Pertama, iman
memang bukan usaha atau pekerjaan, melainkan suatu sikap menerima pemberian
Allah. Jadi, iman bisa saja memang “bukan usaha” tetapi adalah “tanggung jawab”
manusia. Tidak semua “tanggung jawab” adalah “usaha.”
Kedua,
Kalvinis salah menafsirkan frase “itu bukan hasil usahamu.” Mereka melihat kata “itu”
mengacu kepada iman. Gill, berkomentar tentang Efesus 2:8 dengan berkata,
“…dan iman ini bukanlah hasil kehendak bebas dan kuasa manusia, tetapi adalah
pemberian bebas dari Allah.”4 Padahal,
frase “itu bukan hasil usahamu” tidak mungkin mengacu kepada iman jika ditilik
dari bahasa aslinya. Dalam bahasa Yunani, “iman” berasal dari kata pistis,
suatu kata benda feminim. Sedangkan, kata “itu” dalam ayat ini adalah
kata touto, suatu kata penunjuk netral. Jadi, secara grammatis,
tidak mungkin suatu kata penunjuk netral mengacu kepada kata benda feminim.
Sebenarnya, “itu” yang dimaksud adalah konsep keselamatan yang dibahas Paulus
dalam perikop ini. “Keselamatan” bukan hasil usaha manusia, tetapi pemberian
Allah. Tentu non-Kalvinis sangat setuju bahwa keselamatan adalah pemberian
Allah. Justru hal ini membuat kita kembali kepada pertanyaan, bukankah suatu
“pemberian” seharusnya bisa ditolak dan bisa diterima? Ayat ini sama sekali
tidak mendukung iman sebagai karunia yang tidak bisa ditolak.
2
Tesalonika 3:2 “dan supaya kami terlepas dari para
pengacau dan orang-orang jahat, sebab bukan semua orang beroleh iman.”
Ayat ini sekilas tampak mengajarkan
bahwa orang-orang jahat adalah orang-orang yang tidak “beroleh” iman. Jadi,
mereka tidak diberikan iman (oleh Tuhan), sehingga mereka tetap orang jahat.
Tetapi penafsiran seperti in tentu sangat berbahaya, karena ujung-ujungnya
mempersalahkan si pemberi iman (kenapa tidak memberikan iman kepada mereka).
Selain itu, penafsiran ini didasarkan kepada penerjemahan yang salah. LAI
melakukan kesalahan besar dalam penerjemahan ayat ini dengan memakai kata
“beroleh.”
Pengertian sebenarnya ayat ini tercermin dalam terjemahan yang lebih baik.
KJV misalnya, berbunyi, “And that we may be delivered from unreasonable and
wicked men: for all menhave not faith.” Jadi, “tidak semua
orang memilikiiman.” Itulah
sebabnya mereka jahat, karena mereka tidak memiliki iman. Ayat ini sama sekali
tidak berbicara mengenai asal usul iman itu, tetapi mempersalahkan orang-orang
itu sendiri, mereka jahat karena tidak beriman.
Roma 12:3 “… tetapi
hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut
ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.”
Ayat ini berbicara mengenai iman yang
dikaruniakan Allah. Tetapi, ada beberapa alasan mengapa ayat ini sama sekali
tidak mendukung konsep Kalvinis tentang iman sebagaikarunia yang tidak dapat
ditolak. Terutama adalah fakta bahwa perikop ini sama sekali
bukan berbicara mengenai iman keselamatan. Perikop ini berbicara mengenai iman
sebagai salah satu karunia rohani, yang diberikan kepada seseorang yang sudah
percaya Yesus. Karunia rohani yang sama disinggung Paulus dalam 1 Korintus
12:9, “Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan iman, dan kepada yang lain
Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan.” Tidak mungkin ini mengacu kepada
iman keselamatan, karena tidak semua orang yang selamat mendapatkan karunia ini. Karunia
rohani ini mengacu kepada kemampuan yang Tuhan berikan kepada orang-orang
tertentu untuk melakukan hal-hal besar bagi Tuhan berdasarkan iman. Iman
dalam Roma 12:3 dan 1 Korintus12:9 berkenaan dengan iman dalam pelayanan
khusus.
2 Petrus 1:1 “Dari Simon Petrus, hamba dan rasul Yesus
Kristus, kepada mereka yang bersama-sama dengan kami memperoleh iman oleh
karena keadilan Allah dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.”
Ayat ini juga terkadang dipakai Kalvinis
untuk mengajarkan bahwa iman adalah karunia atau pemberian Allah. Tetapi,
sekali lagi perlu ditekankan, sistem non-Kalvinis tidaklah anti dengan konsep
iman sebagai karunia, bahkan non-Kalvinis mengajarkan bahwa iman adalah karunia
sekaligus tanggung jawab. Yang tidak dipercayai non-Kalvinis, adalah implikasi
Kalvinisme bahwa iman adalah karunia yang tidak dapat ditolak, dan
yang tidak melibatkan tanggung jawab manusia.
Ayat ini sama sekali tidak mengatakan
bahwa iman adalah karunia yang tidak dapat ditolak, itu harus dibaca oleh Kalvinis ke dalam teks. Orang
percaya memperoleh iman dari Tuhan, itu benar! Apakah ini menghilangkan
tanggung jawab manusia? Sama sekali tidak! Jika seseorang berkata bahwa ia
memperoleh ilmu dari gurunya, apakah itu berarti ia tidak bertanggung jawab
untuk belajar? Iman adalah karunia Tuhan, tetapi manusia bertanggung jawab
untuk menerima karunia itu. Bagian berikut akan mempertegas hal ini.
Apakah Iman itu Usaha
atau Jasa?
Kalvinis sering mengatakan, bahwa jika iman itu bukan kasih karunia (yang
tidak dapat ditolak), melainkan respons manusia, maka iman menjadi semacam jasa
yang dapat dibanggakan oleh manusia. Dengan kata lain, mereka menuduh iman
versi non-Kalvinis sebagai “usaha manusia” atau “jasa.” Tetapi, ini adalah
logika mereka sendiri. Iman itu tidak lain dari sikap menerima. Apakah menerima
suatu hadiah bisa dikatakan suatu jasa? Apakah menerima hadiah berarti ikut
bekerja untuk hadiah itu? Sama sekali tidak! Untuk pembahasan lebih lanjut
mengenai tuduhan Kalvinis bahwa iman (non-Kalvinis) adalah jasa/usaha, silakan
llihat artikel lain di http://www.graphe-ministry.org/downloads/Perbedaan_Kalvinis_dengan_non-Kalvinis(1).pdf.
B. Iman Adalah
Tanggung Jawab Manusia
Manusia diperintahkan
untuk percaya!
Ketika kepala penjara Filipi bertanya
tentang apa yang harus ia lakukan untuk diselamatkan, Paulus
tidak berkata, “Tidak ada apa-apa yang bisa kamu lakukan. Silakan menantikan
pemberian iman, jika memang engkau orang pilihan.” Tidak, sebaliknya, Paulus
berkata, “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau
dan seisi rumahmu” (Kis. 16:31). Ada sesuatu yang harus ia lakukan, bukan dalam
pengertian suatu usaha atau pekerjaan, atau jasa, tetapi ada tanggung jawab
untuk beriman.
Perintah untuk beriman kepada Yesus merupakan inti dari Injil, dan sudah
dikumandangkan sejak semula. Tuhan Yesus sendiri memulai pelayananNya dengan
menekankan tanggung jawab ini: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah
dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mar. 1:15). Belakangan Ia
juga berkata, “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah
juga kepada-Ku.” Ini adalah perintah.5 Manusia diperintahkan untuk
percaya! Jelas ini menunjuk kepada suatu tanggung jawab! Jika iman adalah
suatu pemberian yang tidak dapat ditolak, maka sama sekali tidak ada gunanya
untuk memerintahkan hal ini. Lebih masuk akal untuk meminta Allah
memberikan iman, daripada memerintahkan manusia untuk percaya!
Posisi Kalvinis bagaikan seorang guru yang secara rahasia menyelipkan
pita-pita biru ke dalam tas sebagian murid-muridnya pada saat mereka
beristirahat. Lalu guru ini memberikan perintah kepada semua murid untuk
memiliki pita biru, padahal tidak ada cara untuk memperoleh pita biru itu
kecuali melalui “pemberian” guru tadi. Apakah tanggapan kita tentang perintah
guru demikian? Tentunya ini adalah suatu perintah yang aneh. Guru itu tahu
bahwa yang tidak dia berikan pita biru tidak mungkin memiliki pita biru. Lebih
lagi, yang sudah dia berikan pita biru (secara rahasia) tidak perlu diperintah.
Perintah ini menjadi sesuatu yang sama sekali tidak berguna, dan boleh
dikategorikan sebagai suatu sandiwara.
Demikian juga jika iman dikonsepkan sebagai suatu pemberianyang tidak
dapat ditolak, maka semua perintah Tuhan agar manusia percaya dan bertobat kepadaNya menjadi
tidak berguna, dan tidak lebih dari suatu sandiwara.
Ketidakpercayaan
adalah pilihan manusia
Ibrani 3:12 berbunyi, “Waspadalah, hai
saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya
jahat dan yang tidak percaya oleh karena ia murtad dari Allah yang hidup.” Ayat
ini dengan jelas mengajarkan bahwa sikap tidak percaya adalah pilihan manusia,
dan suatu pilihan yang dapat dihindari. Oleh sebab itu, penulis menghimbau
audiensnya untuk jangan menjadi tidak percaya. Tetapi ini berarti audiens kitab
Ibrani bisa memilih untuk percaya! Itu berarti percaya adalah tanggung jawab
manusia yang bisa ia pilih.
Manusia dipuji Tuhan
berdasarkan imannya
Ada beberapa perikop yang memperlihatkan
pujian Tuhan (atau sejenisnya) atas iman manusia. Matius mencatat: “Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah
kepadamu seperti yang kaukehendaki.” Dan seketika itu juga anaknya sembuh”
(Mat. 15:28). Lukas mencatat, “Setelah Yesus mendengar perkataan itu,Ia
heran akan dia, dan sambil berpaling kepada orang banyak yang mengikuti
Dia, Ia berkata: ‘Aku berkata kepadamu, iman sebesar ini tidak pernah
Aku jumpai, sekalipun di antara orang Israel!'” (Luk. 7:9). Jika
memang iman adalah pemberian yang tidak dapat ditolak, untuk apa Yesus heran
akan iman perwira yang dicatat dalam Lukas pasal 7? Bukankah iman itu diberikan
oleh Yesus sendiri (oleh Allah) secara tidak dapat ditolak? Jika saya
memberikan sebuah rumah besar kepada seseorang, lalu mengunjungi rumah orang
tersebut, akankah saya heran bahwa rumahnya besar? Ini hal yang sangat konyol.
Tetapi, jika iman tetap menyertakan porsi tanggung jawab manusia, maka pujian
Tuhan terhadap iman ibu di Matius, atau perwira di Lukas, adalah pujian yang
tulus, bukan sandiwara murahan.
Manusia dituntut
tanggung jawabnya untuk percaya
Pertanyaan mendasar adalah: jika iman bukan tanggung jawab manusia,
bagaimana bisa Tuhan menuntut pertanggungan jawab manusia untuk percaya? Tetapi
jelas Allah menuntut tanggung jawab dari manusia yang tidak percaya!
“Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak
percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak
Tunggal Allah” (Yoh. 3:18). “supaya dihukum semua orang yang tidak percaya akan
kebenaran dan yang suka kejahatan” (2 Tes. 2:12). Markus mencatat bagaimana Tuhan Yesus mencela ketidakpercayaan sebagian
muridNya, “Akhirnya Ia menampakkan diri kepada kesebelas orang itu ketika
mereka sedang makan, dan Ia mencela ketidakpercayaan dan
kedegilan hati mereka, oleh karena
mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia sesudah
kebangkitan-Nya” (Mar. 16:14). Masih banyak lagi ayat lain yang
memperlihatkan bagaimana Tuhan akan menuntut pertanggungan jawab dari orang
yang tidak percaya!
Dalam konsep Kalvinis, iman bukanlah
tanggung jawab manusia. Tetapi bagaimana mungkin Allah menuntut manusia
bertanggung jawab untuk percaya kalau begitu?Bagaimana Tuhan bisa mencela
ketidakpercayaan seseorang jika orang itu tidak bisa percaya tanpa disetel
untuik percaya oleh Tuhan? Lebih lanjut lagi, dalam Kalvinisme, jika
seseorang tidak beriman, apakah sebabnya? Tidak lain dan tidak bukan, karena
Allah tidak memberikan dia iman. Jadi, jika ditarik kepada kesimpulan
logisnya, Kalvinisme secara tidak langsung membuat Allah bertanggung jawab atas
ketidakberimanan seseorang. Betapa berbahayanya konsep Kalvinisme
ini.
Coba kita ganti Yohanes 3:18 menjadi berikut: “Barangsiapa percaya
kepadaNya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di
bawah hukuman, sebab ia tidak memperoleh iman dalam nama Tunggal Allah.” Tentu saya yakin semua orang Kristen akan
protes dengan bunyi ayat yang demikian! Tetapi dalam Kalvinisme, tidak memiliki imansama dengan tidak
dikaruniakan iman oleh Tuhan. Sebaliknya, konsep non-Kalvinis adalah bahwa
Allah memberikan kasih karunia, memampukan seseorang beriman, dan menarik dia,
tetapi orang itu bisa menolak atau menerima kasih karunia Allah. Jadi, jika
seseorang beriman, itu adalah kasih karunia Allah dan respons manusia. Jika
seseorang tidak beriman, itu adalah tanggung jawab dia yang telah menolak
karunia Allah. Ini adalah model yang alkitabiah.
Manusia Dituntut untuk
Tetap Percaya
Hal lain lagi yang dengan tegas
menggarisbawahi tanggung jawab manusia dalam hal iman/percaya adalah fakta
bahwa manusia dituntut Tuhan untuk “tetap percaya.” Jika “tetap percaya” adalah
tanggung jawab manusia, maka dapat dipastikan bahwa iman/percaya itu memang
sejak awalnya adalah tanggung jawab manusia.
Banyak ayat yang menyatakan tanggung
jawab manusia untuk “tetap percaya.” “Sebab itujanganlah kamu melepaskan
kepercayaanmu, karena besar upah yang
menantinya” (Ibr. 10:35). “Dan sekarang, saudara-saudara, aku mau mengingatkan
kamu kepada Injil yang aku beritakan kepadamu dan yang kamu terima, dan yang
di dalamnya kamu teguh berdiri. Oleh Injil itu kamu diselamatkan, asal
kamu teguh berpegang padanya, seperti yang telah kuberitakan kepadamu
kecuali kalau kamu telah sia-sia saja menjadi percaya” (1 Kor. 15:1-2).
Masih banyak lagi yang lain. Intinya adalah bahwa hal ini menegaskan iman
sebagai tanggung jawab manusia.
C. Kesimpulan
Kalvinis mengatakan bahwa iman adalah karunia atau pemberian. Ini adalah
deskripsi yang kurang lengkap. Non-Kalvinis juga bisa mengatakan bahwa iman adalah
karunia dan pemberian. Gambaran yang lebih tepat adalah bahwa Kalvinis
mengajarkan iman sebagaikarunia yang tidak dapat ditolak. Non-Kalvinis melihat iman sebagai karunia sekaligus
tanggung jawab manusia. Dengan kata lain, iman bisa dilihat sebagai karunia,
namun manusia tetap punya tanggung jawab untuk menerima atau menolak suatu
karunia. Iman bisa disebut karunia dalam beberapa pengertian, misalnya: Allah
memungkinkan manusia untuk beriman; Allah memberi manusia kesempatan untuk
beriman; Allah memberikan objek iman (Yesus Kristus) kepada manusia. Pada
umumnya manusia mengerti bahwa suatu karunia bisa ditolak dan bisa juga
diterima.
Ayat-ayat Alkitab yang diteliti memperlihatkan bahwa memang Allah
mengaruniakan iman, tetapi tidak ada ayat yang mengatakan bahwa iman
adalah kasih karunia yang tidak dapat ditolak, atau mengindikasikan hal tersebut. Sebaliknya, banyak ayat Alkitab lain
yang menegaskan bahwa iman adalah tanggung jawab manusia. Sebagai kesimpulan,
posisi Non-Kalvinis, bahwa iman adalah karunia (yang bisa diterima/ditolak)
sekaligus tanggung jawab manusia, adalah posisi yang Alkitabiah, sedangkan
posisi Kalvinis tidak Alkitabiah, tidak logis, dan pada ujungnya mempersalahkan
Allah atas ketidakpercayaan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar