Senin, 15 Februari 2016

Perdebatan Istilah “Allah”

Kesalahpahaman Linguistik dan Theologis

Dr. Steven E. Liauw
Graphe International Theological Seminary
Perdebatan Istilah “Allah”
Belakangan ini di dunia kekristenan Indonesia banyak sekali terjadi perdebatan mengenai penggunaan istilah “Allah.” Perdebatan ini timbul karena ada pihak atau kelompok yang “mengharamkan” orang Kristen memakai kata “Allah.” Mereka beranggapan bahwa jika orang Kristen memakai kata “Allah,” maka itu sama saja dengan menyembah Tuhannya orang Islam. Hampir selalu bersamaan dengan itu, kelompok yang sama juga mengedepankan nama “Yahweh,” dan menganjurkan orang Kristen mengganti “Allah” dengan “Yahweh” atau “Elohim.” Kita sebut saja kelompok ini sebagai kelompok “anti-Allah.”
Banyak sekali orang Kristen yang menjadi bertanya-tanya mengenai masalah ini. Apalagi hampir semua orang Kristen di Indonesia sudah biasa dengan istilah “Allah,” dan sama sekali tidak memaksudkan Tuhannya Islam. Tentunya orang Kristen awam akan merasa risih ketika kelompok “anti-Allah” mengklaim bahwa mereka selama ini menyembah Tuhan Muslim atau dewa bulan, mengagungkan berhala, dan menghujat Tuhan yang benar. Walaupun seorang Kristen selama ini sangat mengasihi Yesus, mengagung-agungkan nama Yesus, dan bahkan sudah kenal dengan nama Yehovah, namun jika masih memakai kata “Allah,” maka ia dicap sebagai penyembah berhala atau bahkan seorang Muslim! Ini semua adalah tuduhan yang sangat serius. Banyak orang Kristen yang lugu dan awam ketakutan dituduh seperti itu, dan buru-buru menggabungkan diri dengan kelompok “anti-Allah” ini. Bahkan ada acara pelepasan dari “roh Allah” yang dianggap sebagai roh setan oleh kelompok ini.
Apakah benar tuduhan kelompok “anti-Allah” ini? Apakah karena seorang Kristen memakai istilah “Allah” untuk mengacu kepada sang Pencipta, atau menyebut Yesus sebagai Allah, maka dia menjadi seorang Muslim, atau seorang penyembah berhala? Tulisan ini akan memperlihatkan bahwa posisi kelompok “anti-Allah” ini sama sekali tidak berdasar. Mereka mendirikan seluruh argumen mereka atas dasar emosi, dan mereka melakukan kekeliruan nalar linguistik dan theologis yang sangat fatal. Artikel ini akan berfokus pada mengupas kesalahan linguistik dan kesalahan theologis yang mereka lakukan.

Senin, 08 Februari 2016

Rapture Sudah Sangat Dekat

Rapture Sudah Sangat Dekat
Gambar Rapture
Seharusnya semua orang Kristen lahir baru pernah mendengar kata Rapture. Kata ini bukan dari bahasa Indonesia dan juga bukan dari bahasa Inggris melainkan bahasa Latin Raptura atau Raptus, yang artinya terangkat. Dan itu merujuk pada I Thessalonika 4:17 dari kata kerjanya ἁρπαγησόμεθα (harpagesometha), yang dalam bahasa Indonesia “kita akan terangkat” dan bahasa Inggrisnya “we shall be caught up” or “taken away”.
13 Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. 14 Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia. 15 Ini kami katakan kepadamu dengan firman Tuhan: kita yang hidup, yang masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului mereka yang telah meninggal. 16 Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; 17 sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersamasama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. 18 Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini. (I Tes 4:13-18 ITB)
Sejak Rasul Paulus menulis surat kepada jemaat Thesalonika, orang Kristen sepanjang masa menantikan saat janji itu dinyatakan. Dan setiap orang Kristen lahir baru sangat berharap agar peristiwa yang amat ajaib itu terjadi pada masa hidupnya. Bahkan orang Kristen yang tidak lahir baru juga ikut membicarakannya, tanpa pengertian yang jelas.